Rabu, 04 Februari 2015

Sketsa Senja Merah (2)


 
Kini, setelah bertahun-tahun menjalani hidupnya yang sebenarnya, ia tak mau lagi mengkhayali merahnya senja. Jagat senja yang ia ciptakan di alam pikirannya kini telah berubah kebencian. Setiap senja memerah, saat itu pula ia menjadi geram dan menjerit hingga parau suaranya, meronta-ronta seperti ubur-ubur yang tertusuk duri-duri kulit ikan, kemudian ia akan melempari senja dengan pasir, batu, kerang, tempurung siput atau apa saja yang bisa ia lempar sembari mengumpat dan bersumpah serapah dengan kata-kata yang mudah dipahami. Beberapa untaian kata lebih mirip rapal mantra yang ia ucapkan dengan tangan terkepal bergetaran dan tubuh yang kian kaku. Ia akan menumpahkan kemarahannya yang lebih merah dari merahnya senja, hingga senja itu akan tertutup oleh benda-benda yang ia lemparkan hingga warna semburat cahaya keemasan mulai pudar dan berganti gelap. Saat seperti itulah bayangan wajah dan peristiwa yang telah menghancurkan hidupnya mulai bias. Bukan hilang. Hanya bersembunyi dalam gelap pantai dan dentuman gelombang menghantam dinding-dinding batu karang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar