Sepotong Senja di Ibukota

Ia
dan dia menatap langit yang hitam polos. Andai ada kelipan tampak, pasti indah,
dan mereka bisa menikmatinya sebagai dua orang teman. Ia memang merasa dia
adalah teman sejati, lantaran ada kenyamanan saat berbincang. Ia temukan wadah
cekung untuk keluh kesahnya. Bukan lagi kertas datar. Sepertinya dia juga tak
kelewat bosan seperti permulaan. Dia menatap ia dengan senyum ramah. Ia
lalu-lalang dan datang silih berganti, berharap menemukan kenyamanan. Ia
berharap ia selalu enteng menggenggam harap ditengah ayunan berat langkahnya,
sambil mencari aroma keramahan yang tak cuma mengundang tapi juga menerimanya.
Ia akan singgah di tempat asal meruapnya aroma keramahan, beristirahat, mungkin
juga sedikit bernyanyi. Dan menghabiskan sepotong senja yang tenang atau saat malam
yang hiruk pikuk penuh ketidakpedulian. Ia sungguh tak kerasan dengan pilihan
kedua. Karena ia telah merasakan koloid lara yang berasal dari larutan sejati
lara berangsur menjadi campuran lara hingga dapat ia pilah pilah lukanya dan ia
tata kembali hatinya. Ia tetap berbinar-binar mendapati asanya terpancar lagi
ketika senja mulai menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar