Sabtu, 24 Januari 2015

FONOLOGI BAHASA LIO: FONEM - FONEM SUPRASEGMENTAL

Fonem suprasegmental adalah fonem yang bersifat menindih pada fonem segmental,yang disebut ciri-ciri prosodi karena ini merupakan ciri-ciri ucapan yang bersama-sama dihasilkan dengan bunyi-bunyi ujar. Ciri-ciri ucapan itu berupa intensitas pengucapan bunyi tinggi rendahnya dan panjang pendeknya bunyi ujar. Bunyi prosodi biasa disebut tekanan,nada,dan kuantitas yang dalam fonologi berfungsi sebagai pembedaan arti. Sedangkan dalam bahasa Lio, ciri prosodi yang menandai pembedaan arti adalah nada dan kuantitas. Tekanan kata dalam bahasa Lio mempunyai pola yang tetap, yaitu tekanan jatuh pada suku kedua dari belakang; bila suku kedua berupa vokal tengah pusat /a/, tekanan keras jatuh pada suku berikutnya. Oleh karena itu bila terjadi pemendekan, singkatan yang diucapkan bukan suku kedua dari depan, melainkan suku pertama, misalnya dowa  ‘sudah’ disingkat menjadi do, bukan wa. Tetapi leka ‘di’ dipendekkan menjadi ka karena suku pertama berpuncak pada vokal tengah // sehingga tekanan jatuh pada suku kedua dari depan atau suku pertama dari belakang.
Tekanan kalimat pada bahasa Lio juga tidak bersifat membedakan arti, tetapi berfungsi menandai bagian yang diutarakan dalam kalimat tersebut.
Nada, yaitu tinggi rendahnya bunyi ujaran, merupakan ciri prosodi yang menandai pembedaan arti dalam bahasa Lio. Pembicaraan nada pada fonologi ditandai dengan menggunakan angka Arab: 1, 2, 3, dan 4. Angka 1 menandai ucapan yang bernada terendah dan yang bernada tinggi ditandai dengan angka 4. Kata yang sama, bila diucapkan dengan nada yang berbeda, akan membawa perubahan terhadap makna juga.
Misalnya:
3          1                                  2          4
lako     ‘anjing’                       lako    ‘anjing’ (makian)

Peranan nada dalam membedakan makna ini akan sangat tampak pada pembicaraan intonasi kalimat.
Kuantitas pengucapan bunyi, yaitu panjang pendeknya ucapan, juga merupakan ciri prosodi yang membedakan makna dalam bahasa Lio. Hal ini biasanya terjadi pada pengucapan kata-kata sifat. Kata sifat, jika diucapkan dengan kuantitas panjang pada suku pertamanya, akan menyatakan makna derajat lebih atau bersifat menyangatkan,
 Misalnya:
            3          1                      3     .     .     1
            lo’+o    ‘kecil’            lo’ + o        ‘sangat kecil’

Ciri-ciri prosodi/bunyi suprasegmental  ini akan sangat peranannya dalam kalimat. Perpaduan ciri prosodi kalimat biasa disebut dengan istilah intonasi. Pada dasarnya intonasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu intonasi naik (rising intonation), intonasi mendatar (sustained intonation), dan intonasi turun (falling intonation). Intonasi naik ditandai dengan ˄; mendatar dan turun V, di bawah silang.
Contoh:
    2    3   / /   2    1     
    V
    Eda          mbana   ‘Paman pergi’

    2    3    / /   2    2    3    1   
   Ine              leka     uma   ‘Ibu di kebun’

Pola intonasi kalimat di atas dapat diringkas menjadi:

      [2]     3    /  /     [2]     3     1    

Kalimat-kalimat di atas terdiri dari dua kontur; kontur pertama ditandai dengan intonasi naik dan kontur kedua ditandai dengan kontur turun. Bila kontur keduanya hanya terdiri atas dua suku kata, maka pola intonasinya akan menjadi    2     1     . Bila kontur kedua hanya terdiri dari satu suku kata saja, maka akan terjadi pola intonasi:

     2     2     3    //    2     1    
        V
     Eda      ghe        ka            ‘Pamannya makan’

Variasi intonasi menunjukkan emosi pembicara. Berkaitan dengan hal itu, Halim (1974:97,98) mengatakan:
It has long been recognized that intonation has two funtions. (1) grammatical and (2) emotional, that these functions co-occur (that is, they are generally not mutually exclusive their distribution within any given utterance), and that grammatical function is primary, or basic, the emotional function secondary.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar