Fonem suprasegmental adalah fonem yang bersifat menindih pada
fonem segmental,yang disebut ciri-ciri prosodi karena ini merupakan ciri-ciri
ucapan yang bersama-sama dihasilkan dengan bunyi-bunyi ujar. Ciri-ciri ucapan
itu berupa intensitas pengucapan bunyi tinggi rendahnya dan panjang pendeknya
bunyi ujar. Bunyi prosodi biasa disebut tekanan,nada,dan kuantitas yang dalam
fonologi berfungsi sebagai pembedaan arti. Sedangkan dalam bahasa Lio, ciri
prosodi yang menandai pembedaan arti adalah nada dan kuantitas. Tekanan kata
dalam bahasa Lio mempunyai pola yang tetap, yaitu tekanan jatuh pada suku kedua
dari belakang; bila suku kedua berupa vokal tengah pusat /a/, tekanan keras
jatuh pada suku berikutnya. Oleh karena itu bila terjadi pemendekan, singkatan
yang diucapkan bukan suku kedua dari depan, melainkan suku pertama, misalnya dowa ‘sudah’ disingkat menjadi do, bukan wa.
Tetapi leka ‘di’ dipendekkan menjadi ka karena suku pertama
berpuncak pada vokal tengah /ₔ/ sehingga tekanan jatuh pada suku
kedua dari depan atau suku pertama dari belakang.
Tekanan kalimat pada bahasa Lio juga tidak bersifat
membedakan arti, tetapi berfungsi menandai bagian yang diutarakan dalam kalimat
tersebut.
Nada, yaitu tinggi rendahnya bunyi ujaran, merupakan ciri
prosodi yang menandai pembedaan arti dalam bahasa Lio. Pembicaraan nada pada
fonologi ditandai dengan menggunakan angka Arab: 1, 2, 3, dan 4. Angka 1
menandai ucapan yang bernada terendah dan yang bernada tinggi ditandai dengan
angka 4. Kata yang sama, bila diucapkan dengan nada yang berbeda, akan membawa
perubahan terhadap makna juga.
Misalnya:
3 1 2 4
lako ‘anjing’ lako ‘anjing’ (makian)
Peranan nada dalam
membedakan makna ini akan sangat tampak pada pembicaraan intonasi kalimat.
Kuantitas pengucapan
bunyi, yaitu panjang pendeknya ucapan, juga merupakan ciri prosodi yang
membedakan makna dalam bahasa Lio. Hal ini biasanya terjadi pada pengucapan
kata-kata sifat. Kata sifat, jika diucapkan dengan kuantitas panjang pada suku
pertamanya, akan menyatakan makna derajat lebih atau bersifat menyangatkan,
Misalnya:
3 1 3 .
. 1
lo’+o ‘kecil’ lo’ + o ‘sangat kecil’
Ciri-ciri prosodi/bunyi suprasegmental ini akan sangat peranannya dalam kalimat.
Perpaduan ciri prosodi kalimat biasa disebut dengan istilah intonasi. Pada
dasarnya intonasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu intonasi naik (rising
intonation), intonasi mendatar (sustained intonation), dan intonasi
turun (falling intonation). Intonasi naik ditandai dengan ˄; mendatar dan
turun V, di bawah silang.
Contoh:
V
Eda mbana ‘Paman pergi’
2
3 / / 2
2 3 1
Ine leka uma ‘Ibu di kebun’
Pola intonasi kalimat
di atas dapat diringkas menjadi:
Kalimat-kalimat di atas
terdiri dari dua kontur; kontur pertama ditandai dengan intonasi naik dan
kontur kedua ditandai dengan kontur turun. Bila kontur keduanya hanya terdiri
atas dua suku kata, maka pola intonasinya akan menjadi 2
1
. Bila kontur kedua
hanya terdiri dari satu suku kata saja, maka akan terjadi pola intonasi:
V
Eda ghe ka
‘Pamannya makan’
Variasi intonasi menunjukkan
emosi pembicara. Berkaitan dengan hal itu, Halim (1974:97,98) mengatakan:
It has long been
recognized that intonation has two funtions. (1) grammatical and (2) emotional,
that these functions co-occur (that is, they are generally not mutually
exclusive their distribution within any given utterance), and that grammatical
function is primary, or basic, the emotional function secondary.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar