Sabtu, 17 Januari 2015

MIMPI oleh Kahlil Gibran




Gambar Ilustrasi by Google

Kala malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi, aku bangun dan berjalan ke laut, ”Laut tidak pernah tidur, dan dalam keterjagaannya itu laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.” Ketika aku sampai di pantai, kabut dari gunung menjuntaikan kakinya seperti selembar jilbab yang menghiasi wajah seorang gadis. Aku melihat ombak yang berdeburan.
Aku mendengar puji-pujiannya kepada Tuhan dan bermeditasi di atas kekuatan abadi yang tersembunyi di dalam ombak-ombak itu, kekuatan yang lari bersama angin, mendaki gunung, tersenyum lewat bibir sang mawar dan menyanyi dengan desiran air yang mengalir di parit-parit.
Lalu aku melihat tiga Putera Kegelapan duduk di atas sebongkah batu. Aku menghampirinya seolah-olah ada kekuatan yang menarikku tanpa aku dapat melawannya.
Aku berhenti beberapa langkah dari Putera Kegelapan itu seakan-akan ada tenaga magis yang menahanku.
Saat itu, salah satunya berdiri dan dengan suara yang seolah-olah berasal dari dalam laut ia berkata:
“Hidup tanpa cinta ibarat pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Dan cinta tanpa keindahan seperti bunga tanpa aroma semerbak dan seperti buah tanpa biji. Hidup, cinta,dan keindahan adalah tiga dalam satu, yang tidak dapat dipisahkan ataupun diubah.”
Putera kedua berkata dengan suara bergema seperti air terjun, “Hidup tanpa berjuang seperti empat musim yang kehilangan musim bunganya. Dan perjuangan tanpa hak seperti padang pasir yang tandus. Hidup, perjuangan,dan hak adalah tiga dalam satu yang tidak dapat terpisahkan ataupun diubah.”
Kemudian Putera ketiga membuka mulutnya seperti dentuman halilintar: ”Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa akal seperti roh yang kebingungan. Hidup, kebebasan,dan akal adalah tiga dalam satu, abadi dan tidak pernah sirna.”
Selanjutnya ketiga-tiganya dan berkata dengan suara yang mengerunkan sekali: ‘Itulah anak-anak cinta, Buah dari perjuangan, Akibat dari kebebasan, Tiga manifestasi Tuhan, dan Tuhan adalah ungkapan dari alam yang bijaksana.’
Saat itu diam melangut, hanya gemersik sayap-sayap yang tak nampak dan getaran tubuh-tubuh halus yang terus-menerus.
Aku menutup mata dan mendengar gema yang baru saja berlalu. Ketika aku membuka mataku, aku tidak lagi melihat Putera-Putera Kegelapan itu, hanya laut yang dipeluk halimunan. Aku duduk, tidak memandang apa-apa pun kecuali asap dupa yang menggulung ke surga.
“Biarlah aku, Oh biarlah aku memandikan jiwaku dengan warna-warni: biarlah kutelan mentari terbenam dan meminum pelangi”.
“Pikirkan diri kita bagai spons; hati kita sebagai singai. Bukankah aneh sebagian dari kita lebih suka menghisap bukannya mengalir”.
Impian dan cinta akan saling memberi satu dengan yang lain, serupa dengan apa yang dilakukan matahari ketika mendekati malam dan yang dilakukan bulan ketika mendekati pagi.
                                                                [Sumber: Mutiara Cinta Kahlil Gibran]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar