![]() |
Gambar Ilustrasi by Google |
Kala
malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi, aku bangun
dan berjalan ke laut, ”Laut tidak pernah tidur, dan dalam keterjagaannya itu
laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.” Ketika aku sampai di pantai,
kabut dari gunung menjuntaikan kakinya seperti selembar jilbab yang menghiasi
wajah seorang gadis. Aku melihat ombak yang berdeburan.
Aku
mendengar puji-pujiannya kepada Tuhan dan bermeditasi di atas kekuatan abadi
yang tersembunyi di dalam ombak-ombak itu, kekuatan yang lari bersama angin,
mendaki gunung, tersenyum lewat bibir sang mawar dan menyanyi dengan desiran
air yang mengalir di parit-parit.
Lalu
aku melihat tiga Putera Kegelapan duduk di atas sebongkah batu. Aku
menghampirinya seolah-olah ada kekuatan yang menarikku tanpa aku dapat
melawannya.
Aku
berhenti beberapa langkah dari Putera Kegelapan itu seakan-akan ada tenaga
magis yang menahanku.
Saat
itu, salah satunya berdiri dan dengan suara yang seolah-olah berasal dari dalam
laut ia berkata:
“Hidup
tanpa cinta ibarat pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Dan cinta tanpa
keindahan seperti bunga tanpa aroma semerbak dan seperti buah tanpa biji.
Hidup, cinta,dan keindahan adalah tiga dalam satu, yang tidak dapat dipisahkan
ataupun diubah.”
Putera
kedua berkata dengan suara bergema seperti air terjun, “Hidup tanpa berjuang
seperti empat musim yang kehilangan musim bunganya. Dan perjuangan tanpa hak
seperti padang pasir yang tandus. Hidup, perjuangan,dan hak adalah tiga dalam
satu yang tidak dapat terpisahkan ataupun diubah.”
Kemudian
Putera ketiga membuka mulutnya seperti dentuman halilintar: ”Hidup tanpa
kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa akal seperti roh yang
kebingungan. Hidup, kebebasan,dan akal adalah tiga dalam satu, abadi dan tidak
pernah sirna.”
Selanjutnya
ketiga-tiganya dan berkata dengan suara yang mengerunkan sekali: ‘Itulah
anak-anak cinta, Buah dari perjuangan, Akibat dari kebebasan, Tiga manifestasi
Tuhan, dan Tuhan adalah ungkapan dari alam yang bijaksana.’
Saat
itu diam melangut, hanya gemersik sayap-sayap yang tak nampak dan getaran
tubuh-tubuh halus yang terus-menerus.
Aku
menutup mata dan mendengar gema yang baru saja berlalu. Ketika aku membuka
mataku, aku tidak lagi melihat Putera-Putera Kegelapan itu, hanya laut yang
dipeluk halimunan. Aku duduk, tidak memandang apa-apa pun kecuali asap dupa
yang menggulung ke surga.
“Biarlah
aku, Oh biarlah aku memandikan jiwaku dengan warna-warni: biarlah kutelan
mentari terbenam dan meminum pelangi”.
“Pikirkan
diri kita bagai spons; hati kita sebagai singai. Bukankah aneh sebagian dari
kita lebih suka menghisap bukannya mengalir”.
Impian
dan cinta akan saling memberi satu dengan yang lain, serupa dengan apa yang
dilakukan matahari ketika mendekati malam dan yang dilakukan bulan ketika mendekati
pagi.
[Sumber: Mutiara Cinta Kahlil
Gibran]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar