Sabtu, 24 Januari 2015

Sketsa Senja Merah

Bagai tak ada luka yang paling lara yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya daripada melihat senja yang memerah di pantai itu. Senja yang sebenarnya sejak kecil sangat ia sukai. Saat itu, ia sering melukis senja merah di pasir yang berkilauan persis di bibir pantai dengan ranting kering yang terhempas ombak sambil membayangkan dirinya berlarian dan menari-nari di atas mega-mega yang dikhayalinya bagai kapas lembut berwarna merah bersemburat cahaya keemasan.
Setiap ia melukis senja merah, selalu saja tak pernah selesai, sebab lidah gelombang selalu mengempasnya. Namun ia tak mau berhenti melukis senja merah itu. Ia akan melukis lagi hingga senja merah itu lenyap. Senja adalah inspirasi baginya karena ketika senja ia akan mulai bernyanyi, menyapa, dan mendekap mereka dengan hangat, ---Salam Senja---



Senja di Tanah Lot,Bali (Foto by Yulis DP)


Berlari-lari untuk mendapati Senja di Pantai Lasiana, NTT (Foto by Yulis DP)


Melewati Senja di Taman Nasional Halimun,Gunung Salak-Jawa Barat (Foto by Yulis DP)


Menyambut Senja di Pantai Pasir Putih,Situbondo-Jawa Timur  (Foto by Yulis DP)


Bersenandung mengikuti bayang irama ketika Senja tenggelam di Pantai Senggigi,Lombok-NTB (Foto by Yulis DP))


Siluet Senja di langit Gili Trawangan, Lombok-NTB (Foto by Yulis DP)


Ketenangan Senja di Pulau Merah,Banyuwangi-Jawa Timur (Foto by Yulis DP)


 Waiting for the Sun sets gently at Teddy's beach,Kupang-NTT (Photo by Yulis DP)

FONOLOGI BAHASA LIO: FONEM - FONEM SUPRASEGMENTAL

Fonem suprasegmental adalah fonem yang bersifat menindih pada fonem segmental,yang disebut ciri-ciri prosodi karena ini merupakan ciri-ciri ucapan yang bersama-sama dihasilkan dengan bunyi-bunyi ujar. Ciri-ciri ucapan itu berupa intensitas pengucapan bunyi tinggi rendahnya dan panjang pendeknya bunyi ujar. Bunyi prosodi biasa disebut tekanan,nada,dan kuantitas yang dalam fonologi berfungsi sebagai pembedaan arti. Sedangkan dalam bahasa Lio, ciri prosodi yang menandai pembedaan arti adalah nada dan kuantitas. Tekanan kata dalam bahasa Lio mempunyai pola yang tetap, yaitu tekanan jatuh pada suku kedua dari belakang; bila suku kedua berupa vokal tengah pusat /a/, tekanan keras jatuh pada suku berikutnya. Oleh karena itu bila terjadi pemendekan, singkatan yang diucapkan bukan suku kedua dari depan, melainkan suku pertama, misalnya dowa  ‘sudah’ disingkat menjadi do, bukan wa. Tetapi leka ‘di’ dipendekkan menjadi ka karena suku pertama berpuncak pada vokal tengah // sehingga tekanan jatuh pada suku kedua dari depan atau suku pertama dari belakang.
Tekanan kalimat pada bahasa Lio juga tidak bersifat membedakan arti, tetapi berfungsi menandai bagian yang diutarakan dalam kalimat tersebut.
Nada, yaitu tinggi rendahnya bunyi ujaran, merupakan ciri prosodi yang menandai pembedaan arti dalam bahasa Lio. Pembicaraan nada pada fonologi ditandai dengan menggunakan angka Arab: 1, 2, 3, dan 4. Angka 1 menandai ucapan yang bernada terendah dan yang bernada tinggi ditandai dengan angka 4. Kata yang sama, bila diucapkan dengan nada yang berbeda, akan membawa perubahan terhadap makna juga.
Misalnya:
3          1                                  2          4
lako     ‘anjing’                       lako    ‘anjing’ (makian)

Peranan nada dalam membedakan makna ini akan sangat tampak pada pembicaraan intonasi kalimat.
Kuantitas pengucapan bunyi, yaitu panjang pendeknya ucapan, juga merupakan ciri prosodi yang membedakan makna dalam bahasa Lio. Hal ini biasanya terjadi pada pengucapan kata-kata sifat. Kata sifat, jika diucapkan dengan kuantitas panjang pada suku pertamanya, akan menyatakan makna derajat lebih atau bersifat menyangatkan,
 Misalnya:
            3          1                      3     .     .     1
            lo’+o    ‘kecil’            lo’ + o        ‘sangat kecil’

Ciri-ciri prosodi/bunyi suprasegmental  ini akan sangat peranannya dalam kalimat. Perpaduan ciri prosodi kalimat biasa disebut dengan istilah intonasi. Pada dasarnya intonasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu intonasi naik (rising intonation), intonasi mendatar (sustained intonation), dan intonasi turun (falling intonation). Intonasi naik ditandai dengan ˄; mendatar dan turun V, di bawah silang.
Contoh:
    2    3   / /   2    1     
    V
    Eda          mbana   ‘Paman pergi’

    2    3    / /   2    2    3    1   
   Ine              leka     uma   ‘Ibu di kebun’

Pola intonasi kalimat di atas dapat diringkas menjadi:

      [2]     3    /  /     [2]     3     1    

Kalimat-kalimat di atas terdiri dari dua kontur; kontur pertama ditandai dengan intonasi naik dan kontur kedua ditandai dengan kontur turun. Bila kontur keduanya hanya terdiri atas dua suku kata, maka pola intonasinya akan menjadi    2     1     . Bila kontur kedua hanya terdiri dari satu suku kata saja, maka akan terjadi pola intonasi:

     2     2     3    //    2     1    
        V
     Eda      ghe        ka            ‘Pamannya makan’

Variasi intonasi menunjukkan emosi pembicara. Berkaitan dengan hal itu, Halim (1974:97,98) mengatakan:
It has long been recognized that intonation has two funtions. (1) grammatical and (2) emotional, that these functions co-occur (that is, they are generally not mutually exclusive their distribution within any given utterance), and that grammatical function is primary, or basic, the emotional function secondary.



Rabu, 21 Januari 2015

Jokes ala Presiden Soekarno

Sebagai politikus, presiden Soekarno memiliki koleksi humor yang ia kumpulkan dari berbagai sumber. Dengan lihai, ia akan mengeluarkan humor-humor itu kepada lawan bicaranya yang pas.
Saat beliau bertemu Dubes Amerika untuk Indonesia, Howard P. Jones sambil minum kopi di suatu pagi. Sebagai catatan Dubes Jones adalah salah satu dubes yang akrab dengan Bung Karno.
Bung Karno mengawali jokenya dengan bertanya:
"What are the comparasions between world policy and women ages?"
Presiden Soekarno dan Marilyn Monroe
Tanpa menjawab langsung Jones hanya tersenyum mengharap Sang Presiden segera menunjukkan jawabannya. Dan jawaban Beliau adalah:


  • women or girls between 15 and 19 years old just like Africa: wild, young, and still virgin.
  • women or girls between 20 and 29 years old just like USA: rich, full, enthusiasm and well equipped.
  • women or girls between 30 and 39 years old just like India: experienced and mostly mysterious.
  • women or girls between 40 and 49 years old just like France: glory in the past.
  • women or girls between 50, or 60, 70 years old just like Rusia: big-wide, and nobody will come in.
Demikian lelucon Bung Karno, dari mana Beliau mendapat lelucon itu kurang jelas. Yang pasti Dubes Jones sangat senang mendapat humor itu dan ia berjanji akan menceritakan kepada teman-temannya di Amerika.

Referensi:
Perpustakaan Bung Karno, Blitar-Jawa Timur.
Rinto, Ipnu. The Love Story of Bung Karno: The Untold Stories. Yogjakarta. Buku Pintar 2013.
Susilo, Taufik Adi. Soekarno, Biografi Singkat 1901-1970.Jogjakarta; Garasi 2012.


Sabtu, 17 Januari 2015

FONOLOGI BAHASA LIO: FONEM SEGMENTAL



Pengertian Bahasa

Bahasa menurut Depdiknas (2005: 3): 
Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
Bahasa menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan.
Bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.

Kedudukan Bahasa Lio
Menurut Munandjar (1974,1-10), di Nusa Tenggara Timur terdapat tidak kurang dari 35 bahasa. Semuanya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar (rumpun), yaitu Rumpun Bahasa Sumba Bima dan Rumpun Bahasa Ambon Timor.
Kedua rumpun bahasa itu dapat dibagi dalam beberapa kelompok bahasa yaitu:
1.      Bahasa Sumba
2.      Bahasa Sabu/Hawu
3.      Bahasa Manggarai Riung
4.      Bahasa Sikka-Krowe-Mahang
5.      Bahasa Ngada-Lio
6.      Bahasa Badjo-Buton
7.      Bahasa Solor/Lamalohot
8.      Bahasa Kedang
9.      Bahasa Labala
10.  Bahasa Alor Pantar
11.  Bahasa di Timor
12.  Bahasa Kupang

Khusus kelompok bahasa Ngada-Lio perlu dicatat bahwa bahasa-bahasa ini terdapat di wilayah Kabupaten Ende, yang terbagi atas delapan bahasa yaitu: bahasa Rongga, bahasa Maung, bahasa Ngada, bahasa Nage, bahasa Keo, bahasa Palue, bahasa Ende, dan bahasa Lio. Dalam kehidupan sehari-hari bahasa Lio berfungsi sebagai alat komunikasi. Wilayah penyebarannya terdapat di sebagian Kabupaten Ende, Flores Tengah, dan di luar wilayah persebaran bahasa Ende. Bahasa Lio mempunyai lima dialek, yaitu dialek Aku, Tana Kunu, Mbu, Mbengu, dan Mego.

FONEM-FONEM BAHASA LIO
1.      Fonem Segmental
1.1.Vokal
a.      Pemerian Vokal
/i/              : /iju/  ‘hidung',        /nio/    ‘kelapa'         /fai/      ‘istri'
/u/             : /uri/  ‘mengajak',   /muri/   ‘hidup',        /fu/        ‘rambut'
/e/             : /dei/  ‘senang,        /eo/      ‘kucing',       /mete/    ‘harap'
/o/             : /oa/   ‘menguak',   /moki/  ‘mulut',         /ero/       ‘lebah'
//              : /nbu/ ‘sedang',     /ma/     ‘pasir',          /gti/       'beli'
/a/             : /ka/  ‘makan',        /are/      ‘nasi',           /gura/      ‘menggosok'
b.      Pasangan Minimal (Kontras)
 /i/     :      /u/       /mii/  ‘manis'                               /miu/    ‘kamu'
 /i/     :      /e/       /iri/    ‘melempar'                        /ire/      ‘samping'
 /a/    :       /o/      /wala/ ‘datar'                               /walo/   ‘pulang'
 /e/    :       //       /lepe/  ‘berkunang-kunang'         /lpe/     ‘lipat'
 //     :       /o/       /sro/  ‘menggayung'                  /soro/    ‘sorong'
 //     :       /a/       /lku/  ‘lengkung'                        /laku/    ‘laku'
 /o/    :       /u/       /dogu/ ‘tidak rata'                       /dugu/   ‘berjongkok'
                        
1.2  Konsonan
a.      Pemerian Konsonan
1)      Hambat
/p/             /pare/ ‘padi'                /pu’u/   ‘kayu'
/b/             /ba’i/  ‘pahit'               /bae/     ‘bayar'
/t/              /ita/    ‘intan'               /tuka/     ‘perut'
/d/             /adi/   ‘bekas luka'      /du’a/    ‘tua'
/j/              /jara/  ‘kuda'               /jawa/    ‘jagung'
/k/             /naka/ ‘mencuri'          /boka/    ‘kumbang'
/g/             /goo/   ‘selokan'           /gelu/     ‘tukar'
/’/              /lo’o/  ‘kecil'               /mbe’o/   ‘tahu'
2)      Geser
/B/             /Banda/     ‘kaya'                 /saBo/    ‘mencampur'
/f/              /fua/           ‘lebah'               /fu/         ‘rambut'
/D/             /Deko/       ‘ikut'                 /deDe/    ‘membawa'
/G/             /Gawa/      ‘sana'                /Garu/     ‘situ'

3)      Desis
/s/              /sawe/  ‘habis'              /sa’o/     ‘rumah'
4)      Getar
/r/              /roke/  ‘tidur'                /bora/     ‘sekarat'                
5)      Lateral
/l/              /lewa/  ‘hilang'             /lela/       ‘menyala'
6)      Semivokal
/w/          /watu/    ‘batu'                /wawi/     ‘babi'           
7)      Nasal
/m/            /manu/     ‘ayam'                /minu/     ‘minum'       
/n/             /nuwa/      ‘umur'               /naja/       ‘nama'         
/ƞ/             / ƞati/        ‘memancing'     /foƞa/      ‘senang','suka'
b.      Pasangan Minimal (kontras)
/p/       :           /b/       /paru/    ‘lari'                    /baru/   ‘baru'
/p/       :           /f/        /pe/        ‘nilai'                 /fe/        ‘bertiup'
/b/       :           /f/        /bora/    ‘sekarat'              /fora/    ‘berbuah'
/B/       :           /b/       /Bongo/  ‘bodoh'              /bongo/  ‘tumpul'
/b/       :           /w/      /bata/     ‘putus'                 /weta/   ‘saudara Pr'
/t/        :           /d/       /toa/      ‘memangkas'       /doa/     ‘kembar'
/t/        :           /s/        /uta/      ‘sayur'                 /usa/      ‘mengelap'
/t/        :           /j/        /sojo/    ‘sodok'                 /jojo/     ‘berjalan-jalan'
/d/       :           /s/        /dadu/   ‘tersiar'                /dasu/    ‘bergeser'
/d/       :           /r/        /duru/   ‘kabur'                  /ruru/     ‘menyodorkan'
/l/        :           /r/        /jala/     'rajawali'               /jara/     ‘kuda'
/d/       :           /D/       /degu/   ‘sentuh'                 /Degu/ ‘teguk'
/g/       :           /k/       /saga/    ‘jangkung'             /saka/   ‘menunggang', 
/g/       :           /G/       /joga/   ‘masuk ke liang'    /joGa/  ‘nakal'
/’/        :           / /        /do’i/    ‘tumpah'                /doi/      'uang'
/m/      :           /n/       /kume/  ‘mengekang'         /kune/  ‘kuning'
/n/       :           / ƞ/      /manu/  ‘ayam'                   /maƞu/ ‘tiang' 
/m/      :           / ƞ/      /mara/  ‘cantik','baik hati'  /ƞara/   ‘melihat ke atas'

MIMPI oleh Kahlil Gibran




Gambar Ilustrasi by Google

Kala malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi, aku bangun dan berjalan ke laut, ”Laut tidak pernah tidur, dan dalam keterjagaannya itu laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.” Ketika aku sampai di pantai, kabut dari gunung menjuntaikan kakinya seperti selembar jilbab yang menghiasi wajah seorang gadis. Aku melihat ombak yang berdeburan.
Aku mendengar puji-pujiannya kepada Tuhan dan bermeditasi di atas kekuatan abadi yang tersembunyi di dalam ombak-ombak itu, kekuatan yang lari bersama angin, mendaki gunung, tersenyum lewat bibir sang mawar dan menyanyi dengan desiran air yang mengalir di parit-parit.
Lalu aku melihat tiga Putera Kegelapan duduk di atas sebongkah batu. Aku menghampirinya seolah-olah ada kekuatan yang menarikku tanpa aku dapat melawannya.
Aku berhenti beberapa langkah dari Putera Kegelapan itu seakan-akan ada tenaga magis yang menahanku.
Saat itu, salah satunya berdiri dan dengan suara yang seolah-olah berasal dari dalam laut ia berkata:
“Hidup tanpa cinta ibarat pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Dan cinta tanpa keindahan seperti bunga tanpa aroma semerbak dan seperti buah tanpa biji. Hidup, cinta,dan keindahan adalah tiga dalam satu, yang tidak dapat dipisahkan ataupun diubah.”
Putera kedua berkata dengan suara bergema seperti air terjun, “Hidup tanpa berjuang seperti empat musim yang kehilangan musim bunganya. Dan perjuangan tanpa hak seperti padang pasir yang tandus. Hidup, perjuangan,dan hak adalah tiga dalam satu yang tidak dapat terpisahkan ataupun diubah.”
Kemudian Putera ketiga membuka mulutnya seperti dentuman halilintar: ”Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa akal seperti roh yang kebingungan. Hidup, kebebasan,dan akal adalah tiga dalam satu, abadi dan tidak pernah sirna.”
Selanjutnya ketiga-tiganya dan berkata dengan suara yang mengerunkan sekali: ‘Itulah anak-anak cinta, Buah dari perjuangan, Akibat dari kebebasan, Tiga manifestasi Tuhan, dan Tuhan adalah ungkapan dari alam yang bijaksana.’
Saat itu diam melangut, hanya gemersik sayap-sayap yang tak nampak dan getaran tubuh-tubuh halus yang terus-menerus.
Aku menutup mata dan mendengar gema yang baru saja berlalu. Ketika aku membuka mataku, aku tidak lagi melihat Putera-Putera Kegelapan itu, hanya laut yang dipeluk halimunan. Aku duduk, tidak memandang apa-apa pun kecuali asap dupa yang menggulung ke surga.
“Biarlah aku, Oh biarlah aku memandikan jiwaku dengan warna-warni: biarlah kutelan mentari terbenam dan meminum pelangi”.
“Pikirkan diri kita bagai spons; hati kita sebagai singai. Bukankah aneh sebagian dari kita lebih suka menghisap bukannya mengalir”.
Impian dan cinta akan saling memberi satu dengan yang lain, serupa dengan apa yang dilakukan matahari ketika mendekati malam dan yang dilakukan bulan ketika mendekati pagi.
                                                                [Sumber: Mutiara Cinta Kahlil Gibran]